Categories
lain-lain

Yogyakarta Sama Seperti Prancis

TEMPO/Suryo Wibowo
HomePromowisata
Yogyakarta Sama Seperti Prancis

Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menargetkan menjadi destinasi wisata terbaik se-Asia Tenggara pada 2025. Walaupun jumlah wisatawan yang datang ke Yogyakarta masih kalah dengan Bali dan Jakarta, tetapi kunjungan wisatawannya mencapai tiga juta orang setahun atau sama dengan jumlah penduduknya yang juga hanya tiga juta jiwa.

Yogyakarta itu seperti Prancis yang penduduknya sama dengan wisatawannya, 80 juta orang. ”Kami sangat beruntung, ” kata Sektetaris Dinas Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta Heri Lantjono, Ahad 26 Oktober 2014.

Menurut Heri, walaupun Yogyakarta tidak memiliki banyak sumber daya alam, dan luas wilayahnya yang berbentuk segitiga hanya 3.000 kilometer persegi, pariwisata bisa menjadi andalan ketiga setelah pendidikan dan kebudayaan. Di bidang pendidikan, ada 8.000 mahasiswa asing dari 30 ribu mahasiswa yang belajar di 127 perguruan tinggi di Yogyakarta.

Yogyakarta, Heri berpromosi, memiliki akses transportasi pariwisata melalui lintasan udara dan darat, dari Jakarta, Borobudur, Bromo dan Bali. ”Ini menjadi kepentingan wisatawan asing,” ujar Heri.

Untuk menggiatkan kehidupan pariwisata di Yogyakarta, Heri mengatakan, pemerintah mengembangkan 112 desa wisata dari 450 desa se-Yogyakarta. Desa wisata, Beji Harjo yang memiliki Goa Pindul misalnya, dalam setahun dikunjungi 400 ribu turis dan menghasilkan pendapatan daerah sebesar Rp 16 miliar. Sedangkan seluruh desa wisata menerima belanja wisatawan hingga Rp 50 miliar setahun.
Sumber : http://www.tempo.co/read/news/2014/10/28/203617463/Yogyakarta-Sama-Seperti-Prancis 12/11/2014

Categories
History and Culture

Kajian Ilmuwan Jinakkan Diponegoro

Sketsa pertempuran pengikut Diponegoro dengan serdadu Belanda di Selarong pada September atau Oktober 1825. Foto: Repro buku Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855) karya Peter Carey.
Sketsa pertempuran pengikut Diponegoro dengan serdadu Belanda di Selarong pada September atau Oktober 1825. Foto: Repro buku Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855) karya Peter Carey.

Stelsel Benteng melemahkan pasukan Diponegoro. Namun, dia baru dapat ditaklukkan dengan strategi budaya.

OLEH: YUDI ANUGRAH NUGROHO
http://historia.co.id/artikel/modern/1456/Majalah-Historia/Kajian_Ilmuwan_Jinakkan_Diponegoro 12/11/2014

GERAH melihat ulah Belanda dan gaya hidup ala Barat di Kesultanan Yogyakarta, Diponegoro menyingkir. Selain menggalang kekuatan, dia mempersiapkan kebutuhan logistik. Salah satunya dengan memborong persediaan beras di pasar-pasar di daerah Kedu dan Yogyakarta.

Karena menolak bertanggungjawab, Residen Yogyakarta Smissaert memerintahkan pasukannya menyerang dan membakar markas Diponegoro di Tegalrejo pada 21 Juli 1825. Tiga minggu kemudian, Diponegoro membalas dan menyerang Yogyakarta. Perang Jawa pun pecah.

Menurut Saleh A. Djamhari, dosen Sejarah Universitas Indonesia, dalam kurun 1825-1826, unggul jumlah pasukan, Diponegoro mengandalkan taktik ofensif. Namun, setelah pertempuran di Gawok, strategi ini tak lagi dipertahankan.

Sebaliknya, karena jumlah pasukannya terbatas, Jenderal de Kock mengunggulkan strategi mobilitas melalui operasi pengejaran. Strategi ini berakibat fatal. Banyak prajuritnya tewas; bukan karena bertempur tapi kelelahan, sakit karena epidemi, cuaca buruk, dan medan yang berat.

“Berdasarkan pengalaman tersebut pada 1827 Jenderal de Kock memperkenalkan strategi baru yang dikenal dengan Stelsel Benteng,” kata Saleh dalam diskusi bukunya Strategi Menjinakan Diponegoro, Stelsel Benteng 1827-1830, di Freedom Institute, Jakarta, pada 27 Agustus lalu.

Dengan strategi ini, di setiap wilayah yang berhasil dikuasai, Belanda membangun benteng pertahanan; kemudian infrastruktur yang menghubungkan setiap benteng.

Peter Carey, sejarawan dari Trinity College Oxford, mengatakan Stelsel Benteng merupakan kunci sukses de Kock melawan Diponegoro. Dari Mei 1827 sampai Maret 1830, de Kock membangun sekira 258 benteng –Saleh menyebut 265 benteng– di seluruh Jawa tengah dan timur, terbanyak (90 benteng) dibangun pada 1828.

“Benteng Stelsel dirintis perwira kepala zeni, Kolonel Cochius, yang jauh sebelum Perang Jawa memiliki keahlian membangun sistem perbentengan semacam itu,” kata Carey.

Stelsel Benteng mempersempit ruang gerak pasukan Diponegoro. Perlahan moril pasukan turun. “Karena itu banyak di antara pasukan Diponegoro yang terpaksa menyerah,” ujar Saleh. Bahkan Sentot Alibasah, panglima pasukan Diponegoro, menyerah kepada Kolonel Cochius pada Oktober 1829.

Menurut Saleh, selama perang, peranan para ilmuwan jarang disebut. Misalnya, De Kock mengerahkan beberapa ahli yang dipimpin Rooda van Eisinga untuk melakukan kajian budaya, terutama watak dan karakter bangsawan Jawa serta nilai-nilai yang dianutnya. Hasil kajian itu memberikan kontribusi penting bagi proses pengambilan keputusan dan perlakuan terhadap Diponegoro.

Tatkala menerima laporan keberadaan Diponegoro dan sisa pasukannya di hutan Remojatinegara, de Kock mengambil keputusan yang tak pernah diperkirakan bawahannya. Dia memerintahkan Kolonel Cleerens untuk membujuk Diponegoro agar mau berunding. Jawaban ya dari Diponegoro sudah cukup bagi de Kock. Dengan satu kata ya, de Kock telah memenangi peperangan dan menaklukkan orang Jawa tanpa merendahkan martabatnya.

“Kesuksesan misi Cleerens membawa Diponegoro ke Magelang,” kata Saleh, “merupakan salah satu sukses kajian budaya dalam rangka Stelsel Bentang sebagai sistem senjata.”

Perundingan berakhir dengan penangkapan Diponegoro pada 28 Maret 1830. Dia diasingkan ke Manado selama tiga tahun, lalu ke Makassar sampai kematiannya pada 8 Januari 1855.

Categories
History and Culture

Roto, Jenaka Pengiring Diponegoro

Lukisan "Penangkapan Pemimpin Jawa Diponegoro" karya Raden Saleh. Foto: Micha Rainer Pali©Historia.
Lukisan “Penangkapan Pemimpin Jawa Diponegoro” karya Raden Saleh. Foto: Micha Rainer Pali©Historia.

 

Roto tak hanya menjadi panakawan atau pendamping Diponegoro. Dia pandai membuat plesetan kata dan membanyol.

OLEH: YUDI ANUGRAH NUGROHO
http://historia.co.id/artikel/kuno/1486/Majalah-Historia/Roto,_Jenaka_Pengiring_Diponegoro 12/11/2014

SOSOK itu berdiri di pilar bagian barat pada lukisan berjudul “Penangkapan Pemimpin Jawa Diponegoro” karya Raden Saleh. Keberadaannya tersembunyi di belakang seorang pasukan Belanda yang memegang senapan. Tampak hanya kepala yang menoleh ke arah timur laut, menyorot sang tokoh sentral, Pangeran Diponegoro. Dia berada dekat sang pangeran yang dikerumuni petinggi militer Belanda di pelataran wisma residen Kedu. Sosok tak bersorban itu adalah Joyosuroto atau kerap disapa Roto, salah satu pengiring atau panakawan Diponegoro.

Sebagai pendamping yang paling intim, dia bersama panakawan lainnya “memiliki gabungan peran; abdi pengiring, guru, penasihat, peramu obat, pembanyol, dan penafsir mimpi,” tulis Peter Carey, sejarawan Trinity College, Oxford, dalam “A Mischievous Young Rogue and a Dwarf; Reflections on The Role of The Panakawan in The Age of Prince Diponegoro (1785-1855).”

Roto seorang warga desa sekitar Tegalrejo yang bergabung dengan Diponegoro tatkala menghimpun kekuatan di Tegalrejo, sebelum perang Jawa berkecamuk. Dia bergabung dengan pengiring lainnya guna mempersiapkan keperluan Diponegoro. Mereka disebut dalam Babad Dipanegara sebagai bocah becik (anak baik).

Dari Tegalrejo, rombongan bertolak ke daerah perbukitan wilayah Selarong pada 1825. Di sana Diponegoro semakin mendalami mistik dan agamanya. Berangkat pergi ziarah dan tinggal di gua-gua. Willem Andrian van Rees (1820-1898), perwira Belanda, melaporkan bahwa Diponegoro kerap ditemani pengikutnya yang paling intim (panakawan). Mereka tinggal di dalam gua, Guwo Secang, yang memiliki dapur.

“Bisa diduga di sanalah panakawan-nya mempersiapkan makan untuk Diponegoro dan menemaninya selama puasa,” ungkap Peter Carey.

Keintiman sang pangeran dan panakawan berubah kala perang Jawa pecah dan Diponegoro mulai menerapkan tata pemerintahan keraton pada rombongannya (Oktober 1825 di Selarong dan November 1825-Agustus 1826 di Kemusuk, wilayah Kulon Progo). Panakawan tak lagi jadi karib tunggal Diponegoro.

Hubungan itu kembali intim pada saat posisi Diponegoro semakin melemah. Dalam Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa 1785-1855, Peter Carey menjelaskan bahwa keadaan itu bermula dari pecahnya hubungan Diponegoro dengan Kiai Mojo yang bersedia berunding dengan Belanda. Keadaan itu diperburuk dengan gugurnya panglima senior, Raden Ngabehi, beserta dua anaknya, dalam pertempuran sengit di perbatasan Bagelen-Mataram pada 21 September 1829.

Tak lama setelah itu, pada 11 November 1829, pasukan gerak cepat ke-11 di bawah komando AV Michiels nyaris menangkap Diponegoro. Dia berhasil lolos dan masuk ke hutan di sebelah barat Bagelen, dengan hanya ditemani dua panakawan: Roto dan Bantengwareng (Tentang Bantengwareng dan riwayat abdi pengiring (palawija) raja Jawa baca majalah Historia No. 20 Tahun II 2014).

Pengembaraannya di dalam hutan begitu berat. Diponegoro berpindah-pindah ke gubug petani dalam kelelahan dan sakit malaria. Kedua panakawan mengurangi deritanya. Roto mencoba menghibur sang pangeran dengan banyolan dan tingkah lakunya yang lucu. Dia seorang penghibur dan sosok yang pandai berkisah.

Dari semua panakawan, Roto adalah pengiring yang berbagi setiap tahap perjalanan Diponegoro di sisa perjalanannya sebagai tahanan menuju pembuangan. Saat di atas kereta residen Kedu menuju perbatasan Semarang, Roto bertugas membawa kotak sirih, suatu tugas pengabdian seorang abdi kepada sang raja.

Tiba di semarang, Diponegoro tinggal selama seminggu di wisma residen Bojong, Semarang. “Dia bertugas menjaga sang pangeran di waktu malam. Tidur di luar pintu, memastikan sang pangeran tidak terganggu dalam menjalani ritual di malam hari,” tulis Peter Carey.

Setiap hari Diponegoro makan di meja residen. Dia mulai menyukai roti putih yang baru dipanggang dan kentang walanda. Roto membuat plesetan terkait “kentang walanda menjadi kentang sabrang yang akan menjadi makanan sehari-hari selama pelayaran ke Manado,” ungkap Peter Carey.

Roto tidak menyertai Diponegoro hingga ke pembuangan di Manado. Dia dikirim pemerintah Belanda ke Tondano, Sulawesi Utara, bergabung dengan Kiai Mojo pada Juni 1839. Roto pun tak berada di sisi Diponegoro pada akhir hayatnya.

Categories
History and Culture

Akar Sejarah Tawar-Menawar

OLEH: YUDI ANUGRAH NUGROHO

SELAIN dikenal cerdas dan hemat dalam mengurus keuangan, perempuan Asia, termasuk Indonesia, sejak dulu menguasai kegiatan di pasar. Dalam transaksi jual-beli, mereka selalu berusaha mendapatkan harga semurah mungkin. Tawar-menawar pun menjadi identik dengan mereka.

Menurut Titi Surti Nastiti, arkelolog dan epigraf Pusat Arkeologi Nasional, tidak ditemukan data arkeologis terkait kegiatan jual-beli dan tawar-menawar di pasar pada masa Mataram kuno. “Namun, dengan bantuan studi etnoarkeologi yang dilakukan di pasar-pasar tradisional, kegiatan tawar-menawar muncul berdampingan dengan aktivitas pasar tradisional,” kata Titi kepada Historia.

Dari catatan orang-orang Eropa yang singgah di Nusantara dapat diketahui kegiatan perempuan di pasar. Misalnya, Antonio Galvao, seorang panglima armada Portugis yang menjadi gubernur ketujuh Portugis di Maluku (1536-1540), mencatat peran perempuan Maluku dalam perniagaan. “Wanitalah yang melakukan tawar-menawar, membuka usaha, membeli dan menjual,” tulis Galvao, dikutip sejarawan Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680.

Di Sumatra, menurut Anthony Reid, sebuah puisi Minangkabau terkenal yang ditulis pada 1820-an, menganjurkan agar kaum ibu mengajarkan anak-anak gadisnya “mengamati turun-naiknya harga.” Ini menjadi bekal bagi si gadis ketika berbelanja ke pasar.

Seperti halnya perempuan Maluku dan Sumatra, perempuan Jawa juga berperan penting di pasar. Menurut Thomas Stanford Raffles, Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1811-1816), sudah lazim bagi suami mempercayakan seluruh urusan keuangan kepada istrinya. “Hanya perempuan yang pergi ke pasar dan melakukan seluruh urusan jual-beli. Sudah umum diketahui bahwa kaum lelaki Jawa sangat bodoh dalam mengurus uang,” tulis Raffles dalam The History of Java.

Tidak hanya di pasar, perempuan juga dapat melakukan transaksi perdagangan dalam skala besar. Jeronimus Wonderaer, seorang pedagang Belanda yang mengujungi Cochin-China (Vietnam) pada 1602, melaporkan bahwa para pedagang Belanda dan Inggris melakukan tawar-menawar harga rempah-rempah dengan seorang pedagang perempuan terkemuka (coopvrouw) dari kota Kehue (Hue atau Sinoa, sebutan Portugis).

Perempuan tersebut merupakan wakil dari suatu perusahaan milik dua perempuan bersaudara dan seorang saudara lelaki yang mampu menyuplai rempah-rempah dalam jumlah besar. “Wanita itulah yang melakukan tawar-menawar dan si pria hanya mendengarkan serta setuju,” tulis Wonderaer, dikutip Anthony Reid.

Sejarawan Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia Jilid 2, menyebut praktik tawar-menawar sebagai “ciri kekunoan yang ada di mana-mana.” Di Jawa, seperti halnya di banyak negara Asia dan di tempat lain, jika kita kecualikan toko serba ada modern, tidak terdapat daftar harga dan segala transaksi hanya terjadi setelah ada perdebatan yang relatif panjang. Dalam kesempatan itu, masing-masing pihak dapat menunjukkan bakatnya secara terang-terangan.

“Bangsa Eropa sering kali jengkel menghadapi permainan ini, karena mereka tidak dibekali keterampilan itu –paling tidak karena bahasa– dan seringkali mereka menjadi korban. Secara umum, mereka menolak cara penilaian ‘menurut pandangan klien’, yang mereka anggap barbar dan menakutkan,” tulis Lombard.

source:

http://historia.co.id/artikel/budaya/1348/Majalah-Historia/Akar_Sejarah_Tawar-Menawar